Nyanyian Sepi Dusun Raja Bujang Sungai Empat
RIAUPERS.CO.ID – Di peta Kabupaten Indragiri Hilir, Dusun Raja Bujang seolah hanya sebuah titik kecil yang nyaris tak terbaca. Namun bagi warganya, dusun ini adalah rumah—tempat mereka menggantungkan hidup, harapan, dan kenangan panjang tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar usai.
Ironisnya, meski dusun yang secara administratif menjadi wilayah Kelurahan Sungai Empat Kecamatan Gaung Anak Serka hanya berjarak sekitar empat kilometer dari Pasar Sungai Empat dan dapat ditempuh sekitar 30 menit berkendara dari Kota Tembilahan, Raja Bujang seperti kampung yang “hilang” dari perhatian pemerintah.
Kedekatan geografis tak selalu berbanding lurus dengan kehadiran negara. Buktinya Dusun Raja Bujang. Jarak tempuh menuju dusun yang cukup singkat, justru terasa sangat jauh. Kampung tua ini hidup dalam kondisi yang digambarkan warganya dengan kegetiran tentang arti kehidupan sosial ekonomi masyarakat: kesenjangan ekonomi yang mencolok dengan dusun tetangga, infrastruktur yang jauh dari kata memadai. Sebuah ironi, mengingat sejarahnya yang pernah menjadi bagian penting dari perjuangan bangsa.
Pada masa perang kemerdekaan, Raja Bujang bukanlah kampung biasa. Dusun ini pernah menjadi tempat penampungan para pejuang yang terluka di medan gerilya. Rumah-rumah warga kala itu disulap menjadi ruang perawatan darurat, tempat para pejuang meregang antara hidup dan mati demi kemerdekaan yang kini dinikmati seluruh anak negeri. Sejarah itu masih hidup dalam ingatan para orang tua di kampung dan dituturkan dengan detail kepada generasi selanjutnya, namun sayang, ingatan kolektif bangsa seakan memudar ketika menyentuh nasib Raja Bujang hari ini.

Kontradiksi memang. Kenapa? Karena dusun itu bertetangga dengan tiga perusahaan besar, PT. Bina Duta Laksana (PT. BDL), PT. Mutiara Sabuk Khatulistiwa ( PT. MSK) dan PT. Surya Dumai. Truk-truk jumbo siang dan malam melintas, mengangkut hasil produksi menuju pusat-pusat ekonomi. Namun roda ekonomi yang berputar kencang itu nyaris tak pernah singgah di kampung yang dilewatinya. Di balik debu jalan yang beterbangan, warga Raja Bujang kecipratan lumpur dan debu tetap bertahan dengan keterbatasan yang nyaris tak berubah dari tahun ke tahun.
Sungguh potret dusun terabaikan di tengah modernisasi peradaban. Aliran listrik? Rumah-rumah mereka Cuma diterangi lampu teplok dan lampu strongkeng satu-satu bagi warga yang agak berada secara ekonomi. Jalanan kampung hancur, menyulitkan mobilitas warga, terutama anak-anak yang hendak bersekolah dan orang sakit yang membutuhkan pertolongan cepat. Parit-parit dangkal kerap menjadi sumber genangan, sementara kebun kelapa—urat nadi ekonomi masyarakat—kini tak lagi produktif, memaksa warga menerima penghasilan yang kian menipis.

Namun pemandangan paling memilukan barangkali adalah surau, rumah ibadah mereka. Bangunan yang seharusnya menjadi tempat mencari ketenangan dan pengharapan itu masih berlantai tanah dan berdinding terpal. Di sanalah warga menundukkan kepala, memanjatkan doa agar hidup esok hari sedikit lebih baik dari hari ini.

Potret Raja Bujang adalah cermin retak dari wajah pembangunan yang timpang. Di saat demokrasi, keadilan sosial, dan transparansi pemerintahan kerap digaungkan, masih ada warga yang hidup tanpa listrik, tanpa jalan layak, dan tanpa kepastian masa depan—bahkan di kampung yang begitu dekat dengan pusat pemerintahan.
Sebagai warga yang tak memiliki akses pada pengambil kebijakan, pertanyaan itu pun menggantung di udara, lirih namun penuh makna: beginikah nasib yang harus diterima ketika “Raja Bujang” tak lagi bertahta? Pertanyaan yang bukan sekadar keluhan, melainkan seruan nurani agar sejarah, kemanusiaan, dan keadilan kembali menemukan jalannya ke dusun kecil bernama Raja Bujang.
Catatan Pinggir, Badrawi, Anak Jati Dusun Raja Bujang
Editor HKR
